SEJARAH SAINT HARI VALENTINE ( untuk renungan 2 )

Hari Valentine dimulai pada zaman Kekaisaran Romawi. Roma kuno, 14 Februari adalah sebuah hari libur untuk menghormati Juno. Juno adalah ratu dari dewa dan dewi-dewi Romawi. Orang-orang Roma juga mengenalnya sebagai Dewi perempuan dan perkawinan. Keesokan harinya, 15 Februari mulai Perayaan Lupercalia.

Kehidupan anak laki-laki dan perempuan yang sangat terpisah. Namun, salah satu kebiasaan orang-orang muda itu nama gambar. Pada malam menjelang festival Lupercalia nama-nama gadis Romawi ditulis pada potongan kertas dan ditempatkan dalam stoples. Setiap anak muda akan menarik nama perempuan dari kendi dan kemudian akan menjadi mitra selama festival dengan gadis yang ia pilih. Kadang-kadang pasangan anak-anak berlangsung sepanjang tahun, dan sering kali, mereka akan jatuh cinta dan kemudian menikah.

Di bawah pemerintahan Kaisar Roma Claudius II terlibat dalam banyak kampanye berdarah dan tidak populer. Claudius si Kejam mengalami waktu yang sulit mendapatkan tentara untuk bergabung dengan liga militer. Dia percaya bahwa alasan adalah bahwa orang-orang Romawi tidak ingin meninggalkan mencintai atau keluarga. Akibatnya, Claudius membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Roma. Santo Valentine yang baik adalah seorang imam di Roma pada zaman Claudius II. Ia dan Santo Marius membantu para martir Kristen dan diam-diam pasangan yang sudah menikah, dan untuk perbuatan seperti ini Santo Valentine ditahan dan diseret sebelum Prefek Roma, yang mengutuk dia menjadi dipukuli sampai mati dengan klub dan memiliki kepalanya dipenggal. Ia mati syahid pada hari ke-14 Februari, sekitar tahun 270. Pada waktu itu ada kebiasaan di Roma, kebiasaan yang sangat kuno, memang, untuk merayakan di bulan Februari yang Lupercalia, pesta untuk menghormati dewa kafir. Pada kesempatan ini, di tengah berbagai upacara pagan, nama-nama perempuan muda diletakkan dalam sebuah kotak, dari mana mereka ditarik oleh laki-laki sebagai kesempatan diarahkan.

Para pendeta dari Gereja Kristen mula-mula di Roma berusaha untuk membunuh dengan unsur pagan dalam perayaan-perayaan ini dengan mengganti nama-nama orang-orang kudus bagi gadis. Dan sebagai Lupercalia dimulai sekitar pertengahan Februari, para pendeta tampaknya telah memilih Hari Valentine Saint untuk perayaan pesta baru ini. Jadi sepertinya bahwa kebiasaan orang-orang muda memilih gadis untuk kartu valentine, atau orang-orang kudus sebagai pelindung untuk tahun mendatang, muncul dengan cara ini.

ST VALENTINE’S STORY

Mari saya memperkenalkan diri. My name is Valentine. Aku tinggal di Roma pada abad ketiga. Itu sudah lama, lama yang lalu! Pada saat itu, Roma diperintah oleh seorang kaisar bernama Claudius. Aku tidak menyukai Kaisar Claudius, dan aku bukan satu-satunya! Banyak orang berbagi perasaan saya.

Claudius ingin memiliki tentara yang besar. Dia mengharapkan orang untuk sukarelawan untuk bergabung. Banyak orang hanya tidak mau berperang dalam perang. Mereka tidak mau meninggalkan istri mereka dan keluarga. Seperti yang sudah bisa anda duga, tidak banyak laki-laki mendaftar. Hal ini membuat Claudius marah. Jadi apa yang terjadi? Dia punya ide gila. Dia berpikir bahwa jika laki-laki tidak menikah, mereka tidak keberatan bergabung dengan tentara. Jadi Claudius memutuskan untuk tidak mengizinkan lagi perkawinan. Kaum muda menganggap undang-undang baru itu kejam. Saya pikir itu tidak masuk akal! Aku jelas tidak akan mendukung hukum!

Apakah saya menyebutkan bahwa saya adalah seorang imam? Salah satu kegiatan favorit saya menikah dengan pasangan. Bahkan setelah Kaisar Claudius melewati hukum-Nya, aku terus melakukan upacara pernikahan – diam-diam, tentu saja. Ini benar-benar sangat menarik. Bayangkan sebuah ruangan lilin kecil dengan hanya calon pengantin dan diriku sendiri. Kami akan membisikkan kata-kata upacara, mendengarkan semua sedangkan untuk langkah-langkah prajurit.

Suatu malam, kami tidak mendengar langkah kaki. Itu menakutkan! Syukurlah pasangan saya menikah melarikan diri pada waktunya. Aku tertangkap. (Tidak cukup ringan di kakiku ketika aku dulu, kurasa.) Saya baru saja dijebloskan ke penjara dan mengatakan bahwa hukuman adalah kematian.

Aku berusaha untuk tetap ceria. Dan kau tahu apa? Hal indah terjadi. Banyak orang muda datang ke penjara untuk mengunjungi saya. Mereka melemparkan bunga dan catatan sampai ke jendela. Mereka ingin aku tahu bahwa mereka juga percaya pada cinta.

Salah satu dari orang-orang muda ini adalah putri penjaga penjara. Ayahnya memungkinkannya untuk mengunjungi saya di sel. Kadang-kadang kita akan duduk dan berbicara selama berjam-jam. Dia membantu saya untuk tetap semangat. Dia setuju bahwa saya melakukan hal yang benar dengan mengabaikan Kaisar dan pergi ke depan dengan perkawinan rahasia. Pada hari aku mati, aku meninggalkan teman saya sedikit catatan berterima kasih padanya atas persahabatan dan kesetiaan. Saya menandatanganinya, “Cinta dari Valentine Anda.”

Saya percaya bahwa catatan mulai kebiasaan bertukar pesan cinta pada Hari Valentine. Itu ditulis pada hari aku mati, 14 Februari, 269 AD Sekarang, setiap tahun pada hari ini, orang-orang yang ingat. Tapi yang paling penting, mereka berpikir tentang cinta dan persahabatan. Dan ketika mereka berpikir tentang Kaisar Claudius, mereka ingat bagaimana ia mencoba berdiri di jalan cinta, dan mereka tertawa – karena mereka tahu bahwa cinta tidak dapat dikalahkan!

TRADISI VALENTINE

Ratusan tahun yang lalu di Inggris, banyak anak yang berpakaian seperti orang dewasa di Hari Valentine. Mereka pergi bernyanyi dari rumah ke rumah. Satu ayat mereka menyanyikan adalah:

Selamat pagi untuk Anda, valentine;
Curl kunci Anda seperti yang saya lakukan saya —
Dua sebelum dan tiga di belakang.
Selamat pagi untuk Anda, valentine.

Cinta di Wales sendok kayu yang diukir dan diberikan sebagai hadiah pada Februari 14. Hati, kunci dan lubang kunci yang favorit hiasan di sendok. Dekorasi berarti, “Kau membuka hatiku!”

Dalam Abad Pertengahan, pria dan wanita muda nama menarik dari sebuah mangkuk untuk melihat siapa mereka akan kartu valentine. Mereka akan memakai nama-nama ini di lengan baju mereka selama satu minggu. Memakai hati anda dalam lengan baju Anda sekarang berarti bahwa itu adalah mudah bagi orang lain untuk mengetahui bagaimana perasaan Anda.

Di beberapa negara, seorang wanita muda mungkin menerima hadiah pakaian dari seorang pemuda. Jika dia terus hadiah, itu berarti ia akan menikah dengannya.

Beberapa orang biasa percaya bahwa jika seorang wanita melihat burung robin terbang di atas pada Hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Jika ia melihat seekor burung gereja, ia akan menikah dengan orang miskin dan sangat bahagia. Jika ia melihat pipit, ia akan menikah dengan seorang jutawan.

Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Ini pertama kali dibuat untuk tempat duduk seorang wanita dan gaun lebar. Kemudian, sofa atau kursi pacaran memiliki dua bagian, seringkali dalam sebuah S-bentuk. Dengan cara ini, pasangan bisa duduk bersama-sama – tetapi tidak terlalu dekat!

Pikirkan lima atau enam nama anak laki-laki atau perempuan Anda mungkin menikah, Ketika Anda memutar tangkai apel, membaca nama-nama sampai lepas batang. Anda akan menikah dengan orang yang namanya yang Anda katakan ketika batang jatuh.

Memilih dandelion yang telah pergi ke benih. Ambil napas dalam-dalam dan meniup benih ke dalam angin. Menghitung benih yang tetap pada batang. Itu adalah jumlah anak yang Anda miliki.

Jika Anda memotong sebuah apel dalam setengah dan menghitung berapa banyak bibit di dalam, Anda juga akan tahu berapa banyak anak-anak Anda akan memiliki.

apa masih ingin mengikuti mereka?…..

tulisan ini diambil dan dterjemahkan oleh google

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.pictureframes.co.uk/pages/saint_valentine.htm

SEJARAH HARI VALENTINE ( untuk renungan )

Ada berbagai pendapat mengenai asal-usul Hari Valentine. Beberapa ahli menyatakan bahwa itu berasal dari St Valentine, seorang Romawi yang menjadi martir karena menolak untuk menyerah kekristenan. Dia meninggal pada tanggal 14 Februari, 269 AD, pada hari yang sama yang telah mengabdikan diri untuk cinta undian. Legenda juga mengatakan bahwa St Valentine meninggalkan catatan perpisahan untuk putri sipir penjara, yang telah menjadi sahabatnya, dan menandatanganinya “From Your Valentine”. Aspek lain dari cerita mengatakan bahwa Santo Valentine bertugas sebagai imam di kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian harus Valentine dipenjara karena menentang dia. Tahun 496 M Paus Gelasius Februari 14 disisihkan untuk menghormati St Valentine.

Bertahap, 14 Februari menjadi tanggal bagi pertukaran pesan cinta dan St Valentine menjadi santo pelindung kekasih. Tanggal itu ditandai dengan mengirimkan puisi dan hadiah sederhana seperti bunga. Sering kali ada pertemuan sosial atau bola.

Di Amerika Serikat, Miss Esther Howland diberikan kredit untuk mengirimkan kartu valentine pertama. Valentine komersial diperkenalkan pada 1800-an dan sekarang tanggal sangat dikomersialkan. Kota Loveland, Colorado, apakah bisnis kantor pos besar sekitar Februari 14. Semangat terus baik sebagai kartu valentine dikirimkan keluar dengan ayat-ayat dan anak-anak yang sentimental pertukaran kartu valentine di sekolah.

bagi umat muslim seyogyanya jgn meniru perbuatan mereka karna mana nabi besar kita telah bersabda ”barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam kaum tersebut”…saran saya seh kasih sayang ntu g mesti hari VALENTINE..semoga bermanfaat..amien

UPACARA 17 AGUSTUS 2009 DI PONPES SYEKH MUHAMMAD ARSYAD ALBANJARI

Seperti biasanya pada tahun-tahun yang telah lewat, setiap bulan Agustus di adakan  upacara pengibaran Bendera sang saka merah putih. Pada tahun ini acara di adakan pada tanggal 18 Agustus 2009 bertempat di halaman aula pondok. Acara kali ini diikuti segenap murid dan staf pengajar  dari SMA-ALBANJARI, tidak seperti sekolah lain pada umumnya yang biasanya memakai seragam lengkap sekolah mereka masing-masing, karena sekolah ini adalah pondok pesantren maka seragam yang mereka pakai adalah berupa sarung, baju koko, dan peci. Tetapi dengan seragam ini tidak mengurangi rasa nasionalisme terhadap bangsa ini yaitu bangsa INDONESIA. Acara ini dipimpin Inspektur Upacara yaitu Saudara dari Abuya sendiri. Diawali dengan pengibaran Bendera sang saka Merh Putih diteruskan dengan pembacaan teks Pancasila kemudian dilanjukan pembacaan UUD 45 setelah itu Inspektur Upacara menyampaikan beberapa patah kata dan diakhiri dengan do’a. Demikianlah Upacara pada hari itu. Untuk melengakapi berita ini kami sertakan beberapa foto.

By UST AHYAT ALBANJARI

SIDAK PASAR BALIKPAPAN

KH.ACHMAD SYARWANI ZUHRIBALIKPAPAN – Infromasi mengejutkan didapat saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Balikpapan melakukan inspeksi mendadak (sidak ) di Pasar Klandasan, Kamis (17/9) kemarin. Dari sidak tersebut, MUI banyak mendapati pedagang yang melakukan perbuatan curang dengan mengurangi takaran dan timbangan.

“Dari hasil sidak kali ini, memang ditemukan beberapa pedagang yang menggunakan timbangan atau dacing yang tidak sesuai takaran. Ini terbukti saat kita tes langsung,” ujar Sekretaris MUI Kota Balikpapa, Drs H Jailani.

Kegiatan yang berlangsung sejak pukul 10.00 Wita tersebut di pimpin langsung Ketua MUI Balikpapan KH Syarwani Zhuhri Al Banjari. Hadir pula Kepala Kantor Departemen Agama (Depag) Balikpapan H Sulaiman, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Anas Muchtar, Lurah Klandasan Ulu H Amirullah, Ketua Dewan Masjid Indonesa (DMI) H Roem Arbain dan beberapa ulama lainnya.

Rombangan awalnya melakukan sidak di pasar Ikan dan daging, disini ditemukan pedagang yang yang timbangannya dikurangi. Teknisnya, timbangan yang semestinya normal berada di titik nol, namun sebagian ada yang melewati batas nol hingga 100 gram lebih.

Sontak, kondisi ini membuat ulama PROF.DR.KH.Achmad  Syrwani Zuhri cukup geram. Teguran pun dikeluarkan kepada pedagang yang kedapatan curang tersebut, apalagi perbuatan itu sangat merugikan konsumen atau pembeli.

“Harus sesuai, jangan dikurangi. Lebih baik lebih sedikit daripada kurang. Karena itu termasuk perbuatan yang tidak disukai Allah SWT, perbuatan dosa ,” terang PROF.DR.KH.Achmad Syarwani sembari mengenggam tongkatnya.

Tak hanya itu, saat rombongan melanjutkan sidak menuju pasar jenis sembako. Lagi-lagi rombongan menemukan timbangan yang tidak sesuai dengan takaran. Semestinya, posisi timbangan seimbang atau sejajar. Namun, saat dilakukan pemeriksaan timbangan ternyata berat sebelah. Tempat barang dagangan posisinya menurun dibandingan tempat menaruh dacing.

“Saya nggak tau pak, saya taunya beli waktu dulu seimbang. Habis itu nggak pernah diapa-apain lagi kok timbangannya,” kata soerang pedagang

Selain ada yang sengaja, ada juga yang dinilai tidak sengaja. Ada beberapa alat timbangan yang kotor dan berkarat, sehingga mempengaruhi berat timbangan. Disaat itu pula, MUI meminta pedagang untuk membersihkannya.PROF.DR.KH.Achmad Syarwani mengingatkan para pedagang agar tidak menghindari dan tidak mengulangi perbuatan curang tersebut bagi yang sengaja melakukannya kepada pembeli.

“Janganlah berbuat curang lagi karena itu kejahatan, kasihan masyarakat, apalagi ini bulan puasa,” pesan PROF.DR.KH.Achmad Syarwani.

Lanjut PROF.DR.KH.Achmad Syarwani menerangkan, banyaknya musibah yang terjadi di pasar, sebagian besar dikarenakan para penghuni atau pedagangnya tidak melakukan jual beli secara halal.

“Kenapa pasar sering terbakar dilalap si jago merah, karena penjualnya tidak memperhatikan timbangan atau takaran. Makanya musibah datang,” tegasnya.

Apabila masyarakat pedagang memperhatikan hal tersebut, bukan musibah yang datang. Melainkan rezeki berlipat yang akan diberikan oleh Allah SWT.

“Semoga daganannya lancar, pahala buat pedagang dan berkat buat pembeli. Yang penting harus jujur,” imbuh ulama yang kerap menggunakan surban tersebut.

Kembali Jailani mengatakan, pihaknya akan melaporkan hasil sidak MUI tersebut kepada instansi terkait. Yaitu Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Diperindagkop) sebagi pihak yang berwenang untuk melakukan uji kelaikan alat timbangan atau tera ulang.

“Nanti kita akan buat laporan soal masalah ini, dan kita sampaikan pada pihak terkait. Supaya bisa dilakukan pemeriksaan,” tutur ust.Jailani. (die)

PROF.DR.KH.AchmadSyarwani Zuhri mempersilakan pihak berwajib untuk memeriksa pesantren-pesantren di Balikpapan

ABUYABALIKPAPAN-Ketua MUI PROF.DR.KH.Achmad Syarwani Zuhri mempersilakan pihak berwajib untuk memeriksa pesantren-pesantren di Balikpapan, bila dicurigai menjadi tempat persembunyian teroris. Sebaliknya, sebelum mengantongi bukti kuat, kepolisian diharapkan jangan langsung melakukan pemeriksaan bahkan penggeledahan. Pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary Balikpapan ini muncul, Senin (26/12), sesaat setelah menerima kunjungan silaturahmi Kapolresta Balikpapan AKBP Arifin, sekaligus menjawab sinyalemen larinya anak buah Noordin M Top ke Kaltim, yang merebak lagi sejak akhir pekan lalu.

“Insya Allah di tempat kita (Balikpapan) nggak ada. Bau-baunya juga janganlah,” harap PROF.DR.KH.Achmad Syarwani zuhri.

Ditambahkannya, dalam pertemuan tersebut, tak disinggung soal rencana pemerintah melakukan pengambilan sidik jari santri di pondok pesantren yang sempat menjadi polemik nasional. Fokus pembicaraan, lanjut PROF.DR.KH.Achmad Syarwani zuhri, seputar perkenalan Kapolres selaku pejabat baru di Balikpapan. Kapolres sendiri membantah kunjungan tersebut muncul setelah merebaknya dugaan Kaltim dijadikan tempat persembunyian anak buah Noordin.

“Nggak ada hubungannya dengan teroris. Cuma silaturahmi, sekalian minta didoakan supaya kerja kepolisian lancar dan Balikpapan kondusif,” jelasnya. Untuk memantau gerak-gerik teroris, selain lewat intelijen, kepolisin secara rutin menggelar Operasi Kilat Mahakam (OKM) serta mengamankan instalasi penting seperti Jl Minyak. Baik lewat aturan kartu masuk mobil, maupun pelarangan truk dan kendaraan berat lain melintas jalan yang melalui kilang Pertamina itu.

Selain ke Pesantren Al-Banjary, Kapolres bersama rombongan sebelumnya bersilaturahmi ke Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak serta Pesantren Ibnu Qoyyim di Jl Soekarno Hatta Km 5.(pra)

Jemaah Haji Balikpapan Diterima Walikota

Jumat, 1 Januari 2010 | 23:09 WITA BALIKPAPAN – Walikota Balikpapan Imdaad Hamid menerima jemaah haji asal Balikpapan di rumah jabatan, Jumat (1/1) malam. Hadir pula para petugas haji yang mengawal dan mendampingi para jemaah haji selama di Tanah Suci. Dalam sambutannya, Imdaad mengingatkan para petugas haji agar sejak awal menyosialisasikan kondisi tempat-tempat yang akan dikunjungi para jemaah. Imdaad juga beberapa hal seperti kondisi penginapan haji di Makkah yang berjarak cukup jauh dari Masjidil Haram, cuaca yang sering berubah-ubah, hingga antre makanan yang kerap terjadi di Kota Minah maupun Arafah kurang disosialisasikan oleh petugas haji. Hal ini perlu diperhatikan agar para jemaah haji dapat mengelola ibadah yang akan dikerjakan sesuai kondisi fisik masing-masing jemaah. “Supaya jemaah haji Balikpapan semuanya bisa kembali selamat dan membawa berkah buat kota tercinta,” ujar Imdaad. Tidak lupa Imdaad mengajak para jamaah haji mendokan almarhum Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke 4) agar segala amal ibadahnya diterima Allah. Acara penyambutan jemaah haji juga diisi tausiyah oleh Ketua MUI Kota Balikpapan KH. Syarwani Zuhri. Dalam ceramahnya, Syarwani mengingatkan para jemaah yang sekarang bergelar haji untuk menjaga sikap serta meningkatkan kualitas ibadah. “Haji mabrur itu bukan sekadar pulang haji dari Arab saja tapi lebih bagaimana ia menjaga akhlak yang baik serta semakin bertaqwa kepada Allah setelah pulang ibadah haji,” tuturnya. Kloter terakhir jemaah haji Embarkasi Balikpapan tiba Jumat (24/12) malam. Dalam kloter tersebut, sebanyak 24 jemaah berasal dari Balikpapan, sedangkan dari Samarinda 114 orang. Dari catatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Balikpapan, dengan kembalinya Kloter 17, maka 5.184 jemaah dipastikan kembali dari Tanah Suci bersama 80 orang petugas haji. Dalam musim haji kali ini tidak ada satupun jemaah Balikpapan yang meninggal. Dari catatan PPIH hanya seorang jemaah asal Kukar, Hartini binti Anhar yang meninggal di Embarkasi Haji Batakan sesaat setelah tiba di Bandara Sepinggan. (m25/m26)

Ketentuan dan Prinsip-Prinsip Dalam Berjihad

Beberapa Ketentuan Seputar Jihad

Dalam pasal ini, kami ingin menegaskan beberapa prinsip penting berkaitan dengan jihad melawan orang kafir. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

Satu : Jihad memerangi musuh hanyalah salah satu sarana dan dakwah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, bukan tujuan utama.

Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah : 193)

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfâl : 39)

Berkata Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy (w. 1376 H) rahimahullâh menafsirkan ayat di atas, “Kemudian (Allah) Ta’âlâ menyebutkan maksud dari berperang di jalan-Nya, dan bukanlah maksud dari berperang itu menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambil harta-harta mereka, akan tetapi maksudnya adalah supaya agama semata milik Allah sehingga nampaklah agama Allah Ta’âlâ di atas segala agama, dan tersingkirlah segala hal yang menentangnya berupa kesyirikan dan selainnya, dan itulah fitnah yang diinginkan (dalam ayat ini). Apabila maksud tersebut telah tercapai maka tidak ada pembunuhan dan tidak ada peperangan.”

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Siapa yang berperang supaya kalimat Allah yang paling tinggi, maka dialah yang berada di atas jalan Allah.” [1]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) rahimahullâh, “Maka (dijatuhkannya) hukuman adalah terhadap yang meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan hal-hal yang diharamkan, dan itu adalah maksud dari jihad di jalan Allah.” [2]

Dan berkata Ibnul Qayyim (w. 751 H) rahimahullâh, “Karena untuk (menegakkan) tauhid inilah, pedang-pedang jihad terhunus.” [3]

Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas bahwa jihad bukanlah maksud utama yang harus terlaksana pada segala keadaan, akan tetapi jihad itu hanyalah suatu sarana dan dakwah untuk mencapai suatu maksud yang agung, yaitu meninggikan agama Allah dan mengikhlashkan segala peribadatan murni hanya untuk Allah semata.

Andaikata jihad merupakan tujuan utama maka tidaklah kewajiban jihad itu gugur dengan pembayaran jizyah dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin. Namun Allah menggugurkan kewajiban jihad melawan orang kafir bila mereka telah membayar jizyah (upeti) kepada kaum muslimin. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka (Yahudi dan Nashora), sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29)

Dua : Tidak ada perang terhadap orang kafir yang belum mendengar dakwah Islam kecuali setelah menawarkan keislaman kepada mereka atau membayar jizyah.

Hal ini berdasarkan hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. [4]

Tiga : Tidak ada perang terhadap mereka yang mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat.

Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ” [5]

Cermatilah hadits di atas dan perhatikan keadaan sebagian orang yang melakukan aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri di tengah kaum muslimin, di tengah negeri yang dikumandang adzan dan ditegakkan sholat lima waktu padanya.

Wahai betapa menyedihkannya, dimana naluri dan akal mereka, apakah hal tersebut terhitung jihad???.

Empat : Izin kepada orang tua dalam jihad.

Perlu diketahui bahwa hukum jihad adalah kadang-kadang fardhu kifayah dan kadang fardhu ‘ain. Bertolak dari sini para ulama membedakan antara hukum minta izin dalam jihad yang fardlu ‘ain dan jihad yang fardlu kifayah.

Apabila jihad itu fardlu kifayah atau jihad tathawwu’, maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ, فَقَالَ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ

“Datang seorang lelaki kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam minta izin kepadanya untuk berangkat jihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.” [6]

Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardlu kifayah.

Adapun bila jihad itu fardlu ‘ain, maka tidak disyaratkan mendapat izin dan restu dari orang tua. Walaupun dua amalan ini; jihad dan berbakti kepada orang tua merupakan fardlu ‘ain, akan tetapi jihad lebih didahulukan karena mashlahatnya yang lebih besar, yang mana dengan jihad ini terjaganya Dinul Islam dan sekaligus pembelaan terhadap kaum muslimin. Dan juga meninggalkan jihad di saat ia merupakan fardlu ‘ain adalah suatu kemaksiatan, sedangkan tidak ada ketaatan pada orang tua dalam bermaksiat kepada Allah. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menegaskan,

لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ, إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak ada ketaatan pada kemaksiatan, ketaatan itu hanyalah pada hal-hal yang ma’ruf.” [7]

Apabila jihad itu fardhu kifâyah, para ulama berbeda pendapat apakah harus minta izin kepada orang tua yang masih dalam keadaan kafir atau tidak. Jumhur ulama berpendapat tidak diharuskan minta ijin kepada orang tua yang masih kafir. Di versi lain, Imam Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H) rahimahullâh mengharuskan minta izin.

Dan yang kuat menurut kami adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al-‘Auzâ’iy (w. 157 H), “Apabila ibu melarang anaknya dengan maksud untuk melemahkan Islam, maka jangan ditaati dan apabila ia melarang anaknya untuk melaksanakan kebutuhannya, maka hendaklah ia tetap bersamanya.”

Kami menguatkan hal ini karena perintah berbakti kepada orang tua datang dalam bentuk umum dalam nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah, tidak membedakan antara orang tua yang muslim maupun kafir. Dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhumâ di atas berlaku umum dan tidak dibedakan antara orang tua yang bebas maupun budak, maka hukum meminta izin pada jihad fardlu kifayah tetap berlaku. [8]

Lima : Syari’at jihad akan tetap berlanjut hingga hari kiamat.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ. وَلَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan membuatnya faham dalam agama. Dan akan terus menerus ada sekelompok dari kaum muslimin yang nampak berperang di atas kebenaran menghadapi siapa yang memusuhi mereka hingga hari kiamat.” [9]

Dan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ قَاهِرِينَ لِعَدُوِّهِمْ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمْ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Terus menerus ada dari ummatku yang berperang di atas perintah Allah dengan mematahkan musuh-musuh mereka, tidaklah membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga tiba hari kiamat dan mereka di atas hal tersebut.”

Mendengar hal tersebut, ‘Abdullâh bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ membenarkan dan menimpalinya,

أَجَلْ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا كَرِيحِ الْمِسْكِ مَسُّهَا مَسُّ الْحَرِيرِ فَلَا تَتْرُكُ نَفْسًا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ الْإِيمَانِ إِلَّا قَبَضَتْهُ ثُمَّ يَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ عَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ

“Benar. Kemudian Allah akan mengirim angin seperti semerbak misk, sentuhannya bagaikan sentuhan sutra, tidak satu jiwapun yang dalam hatinya masih terdapat seberat bijian dari keimanan kecuali pasti ia akan mewafatkannya. Lalu hanya tersisa manusia yang paling jelek, yang hari kiamat akan bangkit pada mereka.” [10]

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa jihad akan tetap berlanjut pada setiap masa hingga hari kiamat. Dan kaum muslimin tidak akan terputus dalam menunaikan tugas mulia tersebut hingga angin lembut yang penuh dengan semerbak keharuman tersebut mencabut nyawa orang-orang yang beriman. Namun perlu diingat bahwa yang diinginkan dengan jihad disini adalah jihad dalam pengertiannya yang umum dan mencakup seluruh jenis jihad yang disyari’atkan. Maka disaat ada kemampuan dan kekuatan, ditegakkanlah jihad secara fisik dengan persenjataan lengkap, adapun disaat lemahnya kemampuan dan kekuatan kaum muslimin, maka yang ditegakkan adalah jihad dengan hujjah dan argument atau paling minimalnya kebencian terhadap kekufuran di dalam hatinya.

Dan juga kita meyakini bahwa umat Islam ini tidak akan dapat dihancurkan dan tidak mungkin binasa di tangan musuh-musuh mereka. Sebab Allah telah menjamin hal tersebut dalam firman-Nya,

“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepada kalian.” (QS. Âli ‘Imrân : 120)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mengabarkan firman Allah dalam hadits Qudsi,

…وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًا مِنْ سِوَى أَنْفِسِهِمْ يَسْتَبِيْحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا – أَوْ قَالَ مِنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا – حَتَّى يَكُوْنَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِيْ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“…dan Aku tidak membiarkan musuh dari selain mereka berkuasa terhadap mereka, kemudian menghalalkan kemulian mereka –walaupun (musuh-musuh itu) telah bersatu dari seluruh penjuru dunia terhadap mereka-. Hingga sebahagian mereka (sendiri) yang menghancurkan sebagian yang lainnya, dan sebahagian mereka menawan sebagian yang lainnya.” [11]

Wallâhul Muwaffiq.

[1] Hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâri no. 123, 2810, 3126, 7458, Muslim no. 1904, Abu Dâud no. 2517-2518, At-Tirmidzy no. 1650, An-Nasâ`i 6/23 dan Ibnu Mâjah no. 2783.

[2] Majmû’ Al-Fatâwâ 28/308.

[3] Zâdul Ma’âd 1/34 dan I’lâmul Muwaqqi’în 1/4.

[4] Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 2858.

[5] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549,Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.

[7] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 7257, 4340, 7145, Muslim no. 1840, Abu Dâud no. 2625, dan An-Nasâ`i 7/159 dari ‘Ali bin Abi Thôlib radhiyallâhu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2955, 7144 dan Muslim no. 1839, Abu Dâud no. 2626, At-Tirmidzy no. 1711, An-Nasâ`i 7/160 dan Ibnu Mâjah no. 2864.

[8] Lihat pembahasan masalah ini dalam Bahrur Râ`iq 5/78, Bada`i’ush-Shanâ`i’ 7/98, Al-Mughny 13/25-27, Al-Kâfy 4/254-255, Al-Ifshâh 9/57, Al-Inshâf 4/123, Hâsyiah Ar-Raudhul Murbi’ 4/261-262, Raudhatut Thâlibîn 10/211-212, Syarh As-Sunnah 10/377-379, Subulus Salâm 4/78, Nailul Authâr 7/234 dan lain-lain.

[9] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 71, 3116, 3641, 7312, 7460 dan Muslim no. 1037 dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân radhiyallâhu ‘anhu. Dan konteks hadits milik Imam Muslim.

[10] Hadits riwayat Muslim no. 1924.

[11] Riwayat Muslim no. 2889, Abu Dâud no. 4252, At-Tirmidzy no. 2181 dan Ibnu Mâjah no. 3952 dari Tsaubân radhiyallâhu ‘anhu.

(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/beberapa-ketentuan-seputar-jihad.html)

Prinsip-prinsip Penting Dalam Masalah Jihad

Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah suatu keharusan pada masa ini, dimana berbagai kejadian yang melanda manusia, baik itu aksi-aksi peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan sebagainya, oleh para pelakunya dinamakan “Jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan lebel jihad. Di versi lain, sejumlah manusia, ada yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang sama sekali tidak bersumber dari aturan jihad dalam syari’at.

Maka melalui goresan pena ini, kami berusaha mengetengahkan kepada para pembaca yang budiman secara ringkas masalah jihad yang kerap dipahami tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam syariat Islam. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam meredam berbagai kesalahan persepsi dalam masalah ini. Amiin. Yaa.. Mujibas-Sa-ilin.

Sebelum menguraikan beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan jihad, ada baiknya kalau kita menyimak definisi jihad dalam keterangan berikut ini,

Definisi Jihad

Jihad secara etimologi adalah kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya dan upaya. Yaitu mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk mendapat suatu perkara yang berat lagi sulit.

Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ,

“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [2]

Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [3]

Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” [4]

Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur`ân. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Rabb mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22)

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kalian sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shoff : 10-14)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَغُدْوَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Sesungguhnya keluar di pagi hari (berjihad) di jalan Allah atau petang hari adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [5]

Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak. Dan disini kami hanya mengisyaratkan akan keutamaan ibadah yang sangat agung ini. Wallâhul Musta’ân.

[1] Dengan perantara Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.

[2] Ibid.

[3] Lihat Fathul Bâri 6/5, Hâsyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authâr 7/246.

[4] Lihat Fathul Bâri 6/4-5 dan Nailul Authâr 7/246-247.

[5] Hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2792, 2796, 6568, Muslim no. 1880, At-Tirmidzy no. 1655 dan Ibnu Mâjah no. 2757. Dan semakna dengannya hadits Sahl bin Sa’ad As-Sâ’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2794, 2892, 3250, 6415, Muslim no. 1881, At-Tirmidzy no. 1652, 1668, An-Nasâ`i 6/15 dan Ibnu Mâjah no. 2756. Dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 2793, 3253, Muslim no. 1882 dan Ibnu Mâjah no. 2755. Serta hadits Abu Ayyûb Al-Anshôri radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1883 dan An-Nasâ`i 6/15. Dan hadits ini digolongkan mutawâtir oleh Al-Kattâni dalam Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 153.

(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/prinsip-prinsip-penting-dalam-masalah-jihad.html)

Pembagian Jihad

Jihad fii sabîlillâh dalam syari’at Islam, tidak hanya memerangi orang-orang kafir saja, bahkan jihad menurut kacamata syari’at dalam pengertian umum meliputi beberapa perkara :

Pertama : Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)

Kedua : Jihâdusy Syaithôn (Jihad melawan syaithôn)

Ketiga : Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)

Keempat : Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)

Setiap perkara dari empat macam jihad ini, terdiri dari beberapa tingkatan lagi yang berkaitan dengannya. Dan menurut keterangan Ibnul Qayyim, seluruh tingkatan jihad itu berjumlah tiga belas tingkatan.

Dan perlu diingat, bahwa junjungan kita yang mulia, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam adalah orang yang berada pada tingkatan tertinggi dalam jihad fi sabilillah, dimana beliau telah berjihad di jalan-Nya dengan sebenar-benar jihad, dan beliau telah melaksanakan seluruh bentuk jihad yang ada, dan mewaqafkan seluruh detik-detik kehidupannya untuk berjihad, baik dengan hati, lisan maupun dengan tangannya. Karena itulah beliau yang paling tinggi derajatnya dan termulia nilai dan kedudukannya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. [1]

1. Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)

Syari’at Jihadun Nafs ini diterangkan pentingnya dalam hadits Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ

“Seorang mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada Allah”. [2]

Jihâdun Nafs ini mempunyai empat tingkatan :

Tingkatan pertama : Jihad memperbaiki diri dengan mempelajari ilmu syari’at; Al-Qur’ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf.

Karena Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan untuk mempelajari agama dan menyiapkan pahala yang sangat besar bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu. Allah Jalla Jalâluhu berfirman,

“Maka ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad : 19 )

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat .” (QS. Al-Mujadilah : 11)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” [3]

Tentunya dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sangatlah banyak. Silahkan baca kitab Miftâh Dârus Sa’âdah 1219-496.

Tingkatan kedua : Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.

Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisâ` : 66-68)

Dan siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah Jalla Tsanâ`uhu akan memberikan kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta’âlâ dalam firman-Nya,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya .” (QS. Muhammad : 17)

Dan tidak beramal dengan ilmu merupakan sebab terlantar dan hilangnya ilmu tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya,

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (QS. Al-Mâ`idah : 13)

Karena mereka melanggar janji yang mereka ketahui dan menelantarkannya, maka Allah Ta’âlâ menjadikan mereka kehilangan dari sebagian ilmu yang mereka ketahui.

Tingkatan ketiga : Berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut.

Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,

“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur`an dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqân : 51-52)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)

Dua ayat di atas tertera dalam dua surah yang keduanya adalah surah Makkiyah. Dan telah kita ketahui bersama bahwa jihad melawan orang kafir secara fisik disyari’atkan di Madinah, maka tentunya perintah jihad di sini adalah perintah jihad dengan hujjah, dakwah, penjelasan dan penyampaian Al-Qur’an. [4]

Kemudian berdakwah di jalan Allah tentunya harus dengan ilmu dan bashirah, sebagaimana perintah Allah kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yûsuf : 108)

Tingkatan Keempat : Jihad dalam menyabarkan diri ketika mendapat cobaan dalam menjalani tingkatan-tingkatan di atas.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengingatkan dalam firman-Nya yang mulia,

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabût : 1-3)

2. Jihâdusy Syaithân (Jihad melawan syaithân)

Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya yang agung,

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh (kalian), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fâthir : 6)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullâh berkata : “Perintah (Allah) untuk menjadikan syaithân sebagai musuh merupakan peringatan (akan harusnya) mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan (syaithân). Karena ia laksana musuh yang tidak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba dalam selang beberapa (tarikan) nafas.” [5]

Kemudian syaithân memerangi manusia untuk merusak agama dan ibadah mereka kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan dua cara :

Pertama : Melemparkan berbagai keraguan dan syubhat yang membahayakan keimanan seorang hamba.

Keraguan yang dilemparkan oleh syaithân ini kadang berbentuk keraguan dalam Dzat Allah Ta’âlâ sebagaimana dalam hadits Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَ كَذَا وَكَذَا ؟. حَتَّى يَقُوْلَ لَهُ : مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ ؟. فَإِذَا بَلَغَ ذَلِكَ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ

“Syaithân datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata : “Siapa yang menciptakan ini dan itu ?”, sampai ia berkata : “Siapa yang menciptakan Rabbmu?”. Maka apabila ia telah sampai kepada hal tersebut, hendaknya ia berlindung kepada Allah dan berhenti.” [6]

Dan target utama syaithân adalah menanamkan keraguan dalam masalah aqidah (keyakinan) dan terkadang juga dalam perkara ibadah, mu’âmalât, dan sebagainya.

Kedua : Memberikan kepadanya berbagai keinginan syahwat sehingga manusia mengikuti hawa nafsunya, walaupun dalam bermaksiat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.

Allah Jalla Jalâluhu menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya,

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang melalaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Maka menghadapi syaithân dengan dua serangannya di atas merupakan dua tingkatan jihad dalam hal ini. Untuk itu, manusia perlu mempersiapkan dua senjata dalam dua tingkatan jihad tersebut guna mengobarkan peperangan menghadapi syaithân yang durjana.

Dua senjata tersebut bisa kita ambil dari firman-Nya,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah : 24)

Dalam ayat di atas, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama bisa dicapai dengan dua perkara :

1. Dengan kesabaran, yang mana kesabaran ini merupakan senjata ampuh untuk menangkis berbagai macam keinginan syahwat yang dilontarkan oleh syaithân.

2. Dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini adalah senjata yang paling kuat guna menghancurkan berbagai macam keraguan dan syubhat yang disusupkan oleh syaithân. Tidaklah seseorang sampai ke derajat yakin kepada ayat-ayat Allah kecuali setelah ia berilmu, mempelajari dan menelaahnya.

Setelah kita mengetahui hal di atas, maka akan menjadi jelas bagi kita bersama eratnya hubungan jihad memerangi syaithân ini dengan Jihâdun Nafs. Wallâhul muwaffiq.

3. Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)

Jihad melawan orang-orang kafir termasuk jihad yang paling banyak disebutkan dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan jihad terhadap kaum munâfiqîn adalah memerangi orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya. Jihâdul munâfiqîn ini tidak kalah pentingnya dari jihad-jihad yang disebutkan sebelumnya karena terlalu banyak orang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan merusak, memutarbalikkan ajaran Islam atau menjadikan kaum muslimin ragu terhadap Dien mereka yang mulia.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”(QS. At-Taubah : 73, At-Tahrîm : 9)

Berjihad menghadapi mereka dengan empat tingkatan :

1. Memerangi mereka dengan menanamkan kebencian di dalam hati terhadap perilaku, kesewenang-wenangan mereka dan sikap mereka yang menodai kemuliaan syari’at Allah Azzat ‘Azhomatuhu.

2. Memerangi mereka dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan mereka dari kaum muslimin.

3. Memerangi mereka dengan menginfakkan harta dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk mematahkan segala makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

4. Memerangi mereka dalam arti yang sebenarnya, yaitu dengan membunuh mereka kalau terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para ulama dalam perkara tersebut.

4. Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa jihad dengan jenis ini mempunyai tiga tingkatan :

1. Berjihad dengan tangan. Dan ini bagi siapa yang mempunyai kemampuan untuk merubah dengan tangannya, sesuai dengan batas kemampuan yang Allah berikan kepada mereka.
2. Berjihad dengan lisan (nasehat). Dan hal ini juga bagi siapa yang punya kemampuan merubah dengan lisannya.
3. Berjihad dengan hati. Yaitu mengingkari kezholiman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila ia tidak mampu merubahnya dengan tangan atau lisannya.

Diantara dalil untuk tiga tingkatan di atas adalah hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alahi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendakkah dia mengubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya keimanan.” [7]

Demikian tiga tingkatan jihad dalam maknanya yang umum. Dan menurut Ibnul Qayyim rahimahullâh, tiga belas tingkatan di atas semuanya tercakup dalam hadits Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

“Siapa yang mati, dan belum berjihad, dan tidak mencita-citakan dirinya untuk hal tersebut, maka ia mati di atas suatu cabang kemunafikan.” [8]

Kemudian kami ingatkan disini, bahwa keterangan-keterangan di atas adalah bantahan terhadap mereka yang membatasi jihad hanya dalam Jihâdun Nafs dan Jihâdusy Syaithân atau mereka yang menganggap bahwa dua jihad inilah yang merupakan jihad terbesar dan mengecilkan makna jihad yang lainnya. Harus kami tegaskan disini, bahwa jihad dengan seluruh pembagian dan tingkatan-tingkatannya di atas, semuanya adalah penting dalam syari’at, dan kadang sebahagiannya lebih penting dari sebahagian yang lainnya pada kondisi, keadaan, atau waktu tertentu.

Adapun yang laris dikalangan banyak penceramah, khatib jum’at dan masyarakat umum bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berucap ketika kembali dari perang Tabuk dengan konteks :

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ جِهَادُِ النَّفْسِ

“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (yaitu) melawan diri sendiri”.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkomentar tentang hadits di atas dalam Majmû’ Al-Fatâwâ 11/197, “La ashla lahu [9] (hadits tidak asalnya), dan tidak seorangpun dari Ahlul Ma’rifah (orang-orang yang punya pengetahuan) terhadap ucapan-ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya yang meriwayatkannya. Dan jihad (melawan) orang kafir adalah termasuk amalan yang paling agung bahkan ia seutama-utama yang seorang insan bertathawu’ (beribadah sunnah) dengannya…”.

Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathîf hafizhohulläh dalam Tabyîdh Ash-Shohîfah Bi Ushûl Al-Ahâdîts Adh-Dho’îfah hal 76 hadits no. 25.

Dan asal hadits di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah (w. 152 H) sebagaimana dalam biografi beliau dari kitab Tahdzîbul Kamâl karya Al-Hâfizh Al-Mizzy (w. 742 H) dan Siyar A’lâm An-Nubalâ` karya Al-Hâfizh Adz-Dzahaby (w. 748 H). Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Tasdîdul Qaus sebagaimana dalam Kasyful Khafâ` 1/434-435/1362 karya Al-‘Ajlûny (w. 1162 H), “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada lisan-lisan manusia dan ia adalah dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah dalam Al-Kunâ karya An-Nasâ`i (w. 303 H).”

Dan Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ublah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dari jalan An-Nasâ`i dan beliau menghasankan sanadnya.

Adapun konteks yang termaktub dalam buku-buku hadits, adalah dengan konteks lain. Berkata Ibnu Rajab (w. 795 H) dalam Jâmi’ul ‘Ulûm Wal Hikam hal. 369 (Tahqîq Thôriq bin ‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfû’ dari hadits Jâbir dengan sanad yang lemah, dan lafazhnya :

قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ لِهَوَاهُ

“Kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar. (Mereka) berkata : “Apakah jihad besar itu ?”. beliau menjawab : “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya”.”

Dan Syaikh Al-Albâny (w. 1420 H) rahimahullâh menyebutkan hadits di atas dalam Silsilah Ahâdîts Adh-Dha’îfah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits tersebut sebagai hadits “Mungkar”. [10]

[1] Baca : Zâdul Ma’âd 3/5-9.

[2] Hadits riwayat Ibnul Mubarak dalam Musnad-nya no. 29, dan dalam Al-Jihad no. 175, serta dalam Az-Zuhd no.141 dan 826, Ahmad 6/20, 21, 22, At-Tirmidzy no. 1621, Ibnu Abi ‘Âshim dalam Al-Jihâd no. 14, Ibnu Nashr Al-Marwazy dalam Ta’zhîm Qadrish Sholât no. 640-641, Ibnu Hibbân no. 4623, 4706 dan 4862, Al-Hâkim 1/54, Al-Baihaqy dalam Syu’abil Îmân no. 11123, Ibnu Mandah dalam Al-Îmân no. 315, Ath-Thabarâny no. 796, Al-Qodhô’iy dalam Musnadusy Syihâb no. 131, 183 dan 184 dan As-Sahmy dalam Târîkh Jurjân hal. 201. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullâh dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 549 dan Syaikh Muqbil rahimahullâh dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/156.

[3] Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya. As-Suyûthi punya risalah tersendiri (diterbitkan oleh Dar ‘Ammar, cet. Pertama, tahun 1988M/1408H) seputar jalan-jalan hadits ini, dimana beliau menyebutkan hampir 50 jalan bagi hadits di atas. Dan beliau menyebutkan bahwa Al-Hâfizh Al-Mizzi menghasankannya. Demikian pula disetujuai keabsahannya oleh Syaikh Al-Albani dalam ta’lîq beliau terhadap Hidâyatur Ruwâh Ilâ Takhrîj Ahâdîts Al-Mashôbîh Wa Al-Misykâh 1/153-154 dan Syaikh Muqbil Al-Wâdi’iy –sebagaimana yang kami dengar langsung dari beliau-.

[4] Lihat Zâdul Ma’âd 3/5.

[5] Baca : Zâdul Ma’âd 3/6.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 3276, Muslim no. 134, Abu Daud no. 4721 dan An-Nasâ`i dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 663 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[7] Hadits riwayat Muslim no. 49, Abu Dâud no. 1140, 4340, At-Tirmidzy no. 2177, An-Nasâ`i 8/11-112 dan Ibnu Mâjah no. 1275, 4013.

[8] Hadits riwayat Muslim no. 1910, Abu Daud no. 2502 dan An-Nasa`i 6/7.

[9] Kata Lâ ashla lahu dalam istilah ulama hadits, digunakan pada tiga makna :

* Tidak punya sanad sama sekali.

* Tidak mempunyai asal secara marfû’ dari ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, tetapi mungkin mempunyai asal dari ucapan selain beliau.

* Tidak punya asal dalam hadits yang shohîh, tetapi mungkin ada asalnya dari jalan hadits yang lemah yang tidak bisa saling menguatkan.

[10] Dan dari uraian Al-Albâny diketahui bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy dalam Al-Fawâ`id Al-Muntaqôh, Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd, Al-Khatîb dalam Târîkh-nya dan Ibnul Jauzy dalam Dzammul Hawâ`, dan juga dipahami dari keterangan beliau bahwa selain dari Ibnu Rajab, hadits ini juga dilemahkan oleh Al-Baihaqy, Al-‘Irâqy dalam Takhrîjul Ihyâ` dan Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Takhrîjul Kasysyâf. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.

Hukum Rokok Dalam Pandangan Islam

Banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu tentang apa itu hukum dari rokok, sehingga banyak dari kita yang terjerumus ke dalamnya dan tanpa merasa malu lagi untuk menghisap rokok ini di depan umum.

Sesungguhnya apa hukum rokok itu???

Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memakan dengan makanan yang halal dari rizki yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berikan kepada hamba-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman yang artinya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah:168)

Dan juga Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman pada ayat yang lain.

كُـلُـوا مِـنْ طَـيِّـبَـاتِ مَـا رَزَقْـنَـكُـمْ
Artinya:
“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu” (Al-Ayah)

Maka jelaslah 2 ayat di atas tersebut perintah dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada hamba-Nya untuk makan makanan yang halal juga yang baik yang tidak ada kemudharatan atau bahaya bagi badan atau menyakiti tetangga atau menyia-nyiakan harta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan kemudharatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan Rasul menghalalkan yang baik bagi mereka dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raf:157)

Diantara kemudharatan pada zaman sekarang ini yang banyak dari kaum muslimin lalai dari padanya, baik dari kalangan pemuda ataupun yang dewasa yang kebanyakan dari mereka tidak mengetahui keburukan-keburukannya adalah apa yang terdapat pada rokok.

Sehingga tidak sedikit dari meteka yang secara terang-terangan merokok di depan orang banyak tanpa mengenal rasa malu, mereka tidak menjaga kehormatan-kehormatan orang-orang yang berada di sekelilingnya, sehingga mereka menganggap ini merupakan suatu hal yang biasa. Padahal sudah jelas bahwasanya rokok merupakan sesuatu yang haram dan juga merupakan sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan bahaya bagi diri dia sendiri dan bagi orang lain. Dari Sa’id Al-Khudriy Radliallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَضَـرَرَوَلاَضِـرَارَ
Artinya:
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)

Keburukan-Keburukan Rokok

* Rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan.
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa Allah – Subhanahu wa Ta’ala – melarang hamba-Nya untuk membunuh dirinya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa:29)

Tidak dapat kita ingkari bahwasanya rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan dan dapat mengakibatkan penyakit yang membinasakan seperti kanker paru-paru dan lain sebagainya, karena di dalam rokok terdapat racun (nikotin) yang dapat membunuh siapa saja yang menghisapnya.

Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ شَـربَ سَـمًّا فَـقَـتّـل نَـفْـسَـه فَـهُـوَ يَـتَّـحَـسَـاه فى نـارِ جـهَـنَّـمَ خَـالِـدًا مُـخَـلِّـدًا فِـيهـاابـدًا

Artinya:
“Barangsiapa yang menghirup racun hingga mati, maka dia akan menghirup racun itu selama-lamanya di neraka jahannam” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

* Rokok tidak dapat menghilangkan lapar dan dahaga
Allah – Subhanahu wa Ta’ala – berfirman tentang makanan-makanan penghuni neraka yang artinya:
“Mereka tidak memperoleh makanan selain dari pohon berduri. Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS. Al- Ghasyiyah:6-7)

Dan rokok tidak menggemukkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar seperti makanan-makanan penghuni neraka.

* Menyia-nyiakan harta

Orang yang berakal dia mengetahui bagaimana dia hidup dan bermuamalah. Rizki yang Allah telah berikan niscaya tidak akan dihambur-hamburkan pada sesuatu yang haram tidak ada gunanya, menghambur-hamburkan merupakan perbuatan syaitan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar terhadap Rabbnya” (QS. Al- Isra’:27)

Rasulullah – Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam – bersabda:
إِنَّ الله كَـرَهَ لَـكُـمْ ثَـلاَثاً قـيلَ وَقَـالَ وَإِضَـاعَـة الـمَـلِ وكـَثْـرة الُّـؤال
Artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci padamu 3(tiga) perkara, dan beliau berkata: perbuatan menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya” (HR. Al-Bukhari)

Rokok adalah perbuatan pemborosan dan menyia-nyiakan harta yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala

* Rokok terdapat bau busuk yang bisa menyakiti (mengganggu) tetangganya (sekitarnya)

Kita ketahui bahwa bawang merah dan bawang putih adalah makanan yang mubah tetapi keduanya mempunyai bau yang tidak sedap. Dengan sebab bau yang tidak sedap Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – melarang orang yang makan bawang merah dan bawang putih untuk masuk masjid sampai hilang baunya.

Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَـنْ أَكـّلَ تُـوْمًـا اوْ بَـصَـلاً فَـلْـيَعْـتَزِلَـنَّـا مَـسسْْــجِـدَنَـا
Artinya:
“Barangsiapa yang makan bawang putih dan bawang merah, hendaklah ia menjauhkan diri dari masjid kami” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Apabila orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang oleh Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – untuk masuk masjid, maka bagaimana dengan sesuatu yang haram dengan bau yang sangat busuk dan dapat menyakiti (mengganggu) orang yang di sekitarnya???

* Merokok merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin apa yang telah diperintahkannya kepada para Rasul. Allah telah berfirman: ‘Hai para Rasul! Makanlah olehmu makanan yang baik-baik dan beramallah kamu dengan amalan yang sholeh’ dan Allah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu diantara rizki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu’. Kemudian Beliau menceritakan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut penuh dengan debu, dia menadahkan kedua tangannya ke langit, sambil berdo’a: Ya Rabbi… Ya Rabbi.. padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan barang yang haram, maka bagaimana do’anya akan dikabul” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits ini bahwa laki-laki yang diceritakan Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – telah mendatangkan empat perkara yang semestinya do’anya dikabulkan. Yaitu:

Pertama: Safar dengan perjalanan yang jauh.

Dari Anas bin Malik – Radliallahu ‘anhu – dia berkata bahwasanya Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – bersabda:
ثَـلاَثٌ دُعَـوات لاََتُـرَدُّ :دعْـوّةٌ الـوَالِـد,دعْـوةٌ الـصَّاءِمِ,دوَةُ الـمُسَـافِـرُ

Artinya:
“Tiga do’a yang tidak tertolak: Do’anya orang tua terhadap anaknya, do’anya orang yang sedang berpuasa, dan do’anya seorang musafir (yang sedang dalam perjalanan)” (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam silsilah shahihah no. 1797)

Kedua: Pakaian dan keadaan yang mencerminkan kesederhanaan.
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rsulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رُبَّ أشْـعَـثَ مَـدْفُـعٍ بِـالأَبْـوابِ لَـوْْ أقْـسَـمَ على الله لأَبَـرَّهُ
Artinya:
“Banyak orang yang berambut kusut dan berdebu, bahkan bertolak dari semua pintu, tetapi apabila dia bersungguh-sungguh meinta kepada Allah, niscaya Allah akan menerimanya” (HR. Muslim)

Ketiga: Menengadahkan tangan ke langit.
Dari Salman Al-Farisi Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ رَبَّـكُـمْ تَـبَـارَكَ وَتَـعَـالى حَـيٌّي كَـرِيْم يَـسْـتَـحْـيي مِـنْ عَـبْـدِهِ إذا رَفَـعَ يَـدَيْـهِ أأَنْ يَرُدَّهُـما صِـفْـرًا
Artinya:
“Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa” (HR. Abu Dawud)

Keempat: Merengek (meminta) dengan mengulang nama Allah (wahai Rabb-ku)

Namun semua itu tidak mempengaruhi terkabulnya do’a, karena makanan yang dia makan, minuman yang dia minum semuanya merupakan dari hasil yang haram dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Bagaimana do’anya akan terkabulkan?“.

Berkata Ibnu Rajab: “Makanan haram, minuman haram, pakaian haram, dan dikenyangkan dengan barang yang haram merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a” (Jaami’aluumi wal ahkam:92)

Ketahuilah bahwasanya seseorang itu akan dibangkitkan oleh Allah Ta’ala dari kuburnya dalam keadaan sebagaimana dia mati.

Dari Jabir Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُـبْـعَـثُ كُـلُّ عَـبْـدٍ عَـلى مَـامَـاتَ عَـلـيْـهِ
Artinya:
“Setiap hamba itu akan dibangkitkan dari kuburnya ketika dia mati“. (HR. Muslim)

Maka bagaimana keadaan perokok apabila dia mati dalam keadaan sedang merokok dan dia dibangkitkan dalam keadaan bermaksiat kepada Allah Ta’ala??

Nasehat Untuk Para Penjual Rokok
Apabila telah jelas bahwasanya merokok itu adalah haram dengan dalil-dalil yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya menjualnya juga haram, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka haram juga harganya (penjualannya), karena penjualannya merupakan saling membantu dalam perbuatan dosa. Allah Ta;ala berfirman yang artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Ma’idah:2)

Ketahuilah bahwasanya harta yang halal walaupun sedikit itu lebih baik daripada harta yang banyak tetapi didapat dengan cara yang haram (spt menjual rokok). Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
“Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu“. (QS. Al-Maidah:100)

Fatwa Syaikh Bin Bazz Rahimahullah Tentang Hukum Rokok dan Hukum Penjualan-nya

Pertanyaan:
Hukum merokok apakah haram atau makruh? Dan bagaimana hukum penjualan-nya?

Jawaban:
Rokok haram, karena rokok sesuatu yang buruk yang mengandung bahaya-bahaya yang banyak sekali, dan sesungguhnya Allah Ta’ala memubahkan untuk hamba-Nya sesuatu yang baik-baik dari makanan dan minuman-minuman dan yang lainnya, dan mengharamkan kepada mereka yang buruk-buruk, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu apa yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: dihalalkan bagi kalian yang baik-baik“. (QS. Al-Maidah:4)

Dan Allah Ta’ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – di dalam surat Al-A’raaf yang artinya:
“Yang memerintahkan mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raaf:157)

Dan rokok juga yang sejenisnya semuanya bukan dari yang baik-baik, bahkan merupakan yang buruk-buruk, dan semua yang memabukan dari yang buruk-buruk.

Dan rokok tidak boleh menghisapnya dan menjualnya juga perdagangannya, karena terdapat bahaya-bahaya yang besar dan hukuman-hukuman yang berat.

Wajib bagi perokok atau pedagangnya untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala dan menyesali perbuatannya yang lalu, dan berniat dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi, dan barang siapa yang bertaubat dengan kejujuran maka Allah akan menerima taubatnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung“. (QS. An-Nur:31)

Dan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal sholeh kemudian tetap di jalan yang benar“. (QS. Thaha:82)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Taubat dapat meruntuhkan (dosa) yang sebelumnya”

Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti tidak mempunyai dosa“.

Kami meminta kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki keadaan-keadaan kaum muslimin dan menjaga mereka dari setiap yang menyelisihi syari’at-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).

Nasihat Syaikh Rabi’ bagi pengelola situs Internet

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat serta salam bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya dan mereka yang mengikuti petunjuk Beliau.

Amma ba’du
Sesungguhnya dengan sebab perkara yang menimpa Islam dan kaum muslimin berupa kejadian-kejadian yang suram, kehinaan dan keterpurukan di hadapan musuh-musuh Islam. Nasib kaum muslimin di depan musuh-musuhnya bagaikan santapan -di nampan – di hadapan para pemangsanya. Maka kami menyeru kepada para ulama kaum muslimin dan lembaga-lembaga ilmiah di tiap-tiap daerah yang ada di penjuru dunia, juga pemerintah kaum muslimin agar semuanya bertaqwa kepada Allah tentang kondisi ummat dewasa ini.
Hendaklah mereka mengetahui betapa ummat ini terancam mara bahaya, bahkan tertimpa bencana dan malapetaka. Hendaklah mereka tersadar akan tanggung-jawab di hadapan Allah untuk menyelamatkan ummat ini dari bala’ (malapetaka) dan kecelakaan yang menimpa mereka kemudian bersegera mencurahkan daya dan upayanya dengan melaksanakan sebab-sebab yang dapat membantu mereka keluar (dari malapetaka ini). Diantaranya yang terpenting adalah kembali kepada agama mereka yang benar baik di dalam aqidah, ibadah, akhlaq dan siyasah (strategi/politik yang syar’i).
Hendaklah mereka berpegang teguh dengan manhaj yang benar yang bersandarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta apa yang dipahami oleh salafus shalih di dalam mendidik generasi (ummat ini) di masjid-masjid serta lembaga pendidikan di berbagai jenjang dengan memanfaatkan berbagai sarana informasi yang ada, sambil selalu mengingat sabda Rasulullah :
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
Artinya : “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban tentang kepemimpinannya”. (HR Ibnu Majah dari Anas radiyallahu ‘anhu)

Juga sabda Rasul shalallahu alaihi wa sallam:
إذا تبايعتم بالعينة ورضيتم بالزرع واتبعتم أذناب البقر وتركتم الجهاد في سبيل الله سلط الله عليكم ذلاً لا ينزعه عنكم حتى ترجعوا إلى دينكم
Artinya : “Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara ‘inah (sejenis riba, pent), telah larut dalam bercocok tanam, mengikuti ekor-ekor lembu dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang tidak akan tercabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada ajaran agama kalian (Islam, pent). (HR Abu Dawud dari Ibnu Umar)”

Tidak diragukan bahwa ummat ini terjatuh pada keterpurukan di dalam beberapa perkara bahkan terjatuh pada kondisi yang sangat pahit. Para pemimpin ummat ini (ulama, pemerintah dan lembaga-lembaga ilmiah) agar selalu mengingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Ketahuilah bahwa sama sekali tidak ada jalan bagi kalian untuk menyelamatkan ummat ini kecuali dengan cara ini (kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan pemahaman salafussholih, pent). Dan apabila mengambil jalan selain itu, maka tidak akan bertambah kepada ummat ini kecuali kebinasaan dan kehinaan.

Sungguh musuh-musuh Islam tidaklah rela melainkan ingin agar mereka keluar dari agamanya. Aku memohon kepada Allah yang Maha Mulia Rabb Arsy yang Agung agar memberikan taufik kepada ummat ini baik pemerintah muslim, ulama maupun rakyatnya untuk bersegera melakukan sebab-sebab yang bermanfaat dimana Allah tidak akan menerima selainnya.

Mudah-mudahan Allah menyatukan hati ummat Islam dan kalimat mereka di atas al-haq (kebenaran). Pada kesempatan ini aku tujukan nasehatku kepada mereka yang diberi taufik oleh Allah -untuk mengikuti manhaj salafusshaleh agar bertaqwa kepada Allah dan memantau diri mereka lahir maupun batin, mengikhlaskan pada Allah baik ucapan maupun perbuatan mereka. Juga bersegera untuk menuntut ilmu yang bermanfaat.

Kemudian aku nasehatkan kepada pengelola situs internet, agar menjadikan situs internet ini sebagai sarana yang efektif untuk menyebarkan manhaj salafi secara ilmiah dan benar pada setiap materi yang disuguhkan pada kaum muslimin melalui sarana ini yang dipermudah untuk mereka. Hendaknya yang menanganinya adalah para ulama manhaj salafy ini, khususnya yang menguasai bidangnya masing-masing. Maka yang menguasai bidang tafsir Al-Qur’an, hendaklah menulis tentang tafsir; ilmu-ilmunya, hendaklah menyinggung (pembahasan) dengan aqidah dan macam-macamnya, ibadah, mu’amalah serta akhlaq, di celah-celah ayat yang ia tafsirkan, demikian pula pembahasan tentang ushulut tafsir (pokok-pokok) dan macam-macamnya. Kemudian yang ahli dalam bidang hadits hendaklah menulis makalah-makalah yang terambil dari sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam serta terfokus dalam masalah aqidah dan yang lainnya, seperti yang telah saya sebutkan atas saudaranya yang menguasai tafsir tadi sebagaimana iapun semestinya menulis tentang ilmu musthalahul hadits dan biografi para ulama hadits.

Bagi yang menguasai bidang fiqih, hendaknya dia menulis makalah yang berkaitan dengan bidang ini, memilih pembahasan yang membantu para penuntut ilmu di dalam memahami Al-Qur an dan Sunnah Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam serta membahas masalah fiqh yang disertai dalil. Bagi yang menguasai bidang tarikh (sejarah), hendaklah dia menulis sejarah Nabi shallallhu’alaihi wasallam, para sahabatnya dan figur para ulama ummat ini yang terbukti nyata dalam pembelaannya terhadap Islam. Kemudian yang menguasai bacaan (Al Qur’an) dan tajwid, hendaklah menulis makalah di bidang ini, juga yang menguasai bidang bahasa, hendaklah menulis pembahasan makalah di bidang tersebut, dengan syarat menjauhkan perkara yang tidak dikenal dalam manhaj salafy ini seperti: Majaz dan semisalnya.
Hendaknya jangan melakukan bantahan terhadap ahlul bid’ah dan membongkar kesesatan mereka kecuali para ulama.

Saya berharap bagi para penanggungjawab situs Sahab dan yang lainnya, agar tidak menerima tulisan-tulisan kecuali yang benar-benar jelas menyebutkan namanya dan jangan menerima yang hanya menggunakan nama-nama yang tidak jelas (samaran). Demikian pula saya berharap kepada salafiyyin secara umum agar menjauhkan diri dari perdebatan yang batil dan sebab-sebab yang menyeret pada perpecahan. Kalaupun hal itu terjadi (di kalangan salafiyyin), maka jangan sampai memperbanyak perdebatan dan jangan sama sekali mencantumkan permasalahan ini pada situs internet Salafiyah atau yang lainnya. Namun segera dikembalikan kepada para ulama agar mereka membimbing dengan perkataan yang benar yang dapat menyelesaikan perselisihan ini, Insya Allah. Saya nasehatkan kepada ikhwah agar semangat dalam menyebarkan ilmu yang bermanfaat di antara mereka dan menyebarkan sebab-sebab yang dapat mengantarkan kecintaan dan persaudaraan di antara mereka.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik kepada semuanya terhadap apa yang dicintai dan diridhaiNya serta menyatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Rabbku Maha Mendengar (mengabulkan ) doa.

Penulis: Asy-Syaikh Al Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
25 Dzulhijjah 1424 H. Makkah Al-Mukarramah

Teksi asli
———————————————————————————-
نصيحة لله وللمسلمين
بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه.

أما بعد :

فإنه بسبب ما نزل بالإسلام وأهله من نوازل وأحداث مدلهمة وما نزل بهم من ذل وهوان على أيدي أعداء الإسلام إذ تداعوا عليهم كما تداعى الأكلة على قصعتها .

أوجه دعوتي إلى علماء المسلمين والمؤسسات العلمية في كل صقع من أصقاع الدنيا وإلى حكام المسلمين جميعاً أن يتقوا الله في هذه الأمة، وأن يدركوا ما أحدق بها من أخطار بل مما نزل بها من كوارث ومآس فيتحركوا من منطلق الشعور بالمسؤولية أمام الله للخروج بالأمة مما نزل بها من بلاء وويلات وأن يبادروا ببذل كل الأسباب التي تساعدهم على الخروج وعلى رأس ذلك الرجوع إلى دينهم الحق عقيدة وعبادة وأخلاقاً وسياسة ، فيضعوا المناهج الصحيحة المستمدة من كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم وما كان عليه السلف الصالح لتربية الأجيال عليها في المساجد والمدارس في مختلف مراحلها وفي كل وسائل الإعلام ، واضعين نصب أعينهم قول الرسول الكريم صلى الله عليه وسلم :” كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته”، وواضعين نصب أعينهم قول الرسول الكريم صلى الله عليه وسلم :” إذا تبايعتم بالعينة ورضيتم بالزرع واتبعتم أذناب البقر وتركتم الجهاد في سبيل الله سلط الله عليكم ذلاً لا ينزعه عنكم حتى ترجعوا إلى دينكم”.

ولا شك أن الأمة قد وقعت في شر من هذه الأمور حتى آل بهم الأمر إلى هذا الوضع المرير.

وواضعين نصب أعينهم قول الله تعالى:(وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمراً أن تكون لهم الخيرة من أمرهم).

واعلموا أنه لا سبيل لكم أبداً إلى إنقاذ الأمة إلا هذا السبيل وأن اتخاذ سبيلاً غيره لا يزيد الأمة إلا هلاكاً وذلاًً، وأن أعداء الإسلام لا يرضيهم إلا خروج الأمة من دينها (ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم).

أسأل الله الكريم رب العرش العظيم أن يوفق الأمة حكاماً وعلماء وشعوباً للمبادرة إلى الأخذ بهذه الأسباب النافعة التي لا يقبل ربنا سواها وأن يجمع قلوبهم وكلمتهم على الحق.

وبهذه المناسبة أوجه نصحي إلى من وفقهم الله لإتباع منهج السلف الصالح بأن يتقوا الله ويراقبوه في كل الأحوال ظاهراً وباطناً، وأن يخلصوا له في الأقوال والأعمال ، وأن يشمروا عن ساعد الجد في طلب العلم النافع .

وأوصي أصحاب المواقع في الشبكات العنكبوتية – الانترنيت- أن يجعلوا هذه المواقع وسائل ناجحة في نشر المنهج السلفي على الوجه العلمي الصحيح في كل ما يقدمونه للناس عبر هذه الوسائل التي أتيحت لهم.

وأن يتصدى لذلك الأكفاء من علماء هذا المنهج ولاسيما المتخصصون.

فمن كان متخصصاً في تفسير القرآن الكريم فيكتب في التفسير وعلومه وليتطرق للعقائد وأنواعها وللعبادات والمعاملات والأخلاق من خلال الآيات التي يفسرها، كما يتطرق إلى أصول التفسير بأنواعه.

والمتخصص في الحديث يستمد مقالاته من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وليركز على العقائد وغيرها كما ذكرنا عن أخيه المفسر كما ينبغي أن يكتب مقالات في علوم المصطلح وفي تراجم أئمة الحديث.

وليكتب المتخصص في الفقه مقالات في هذا الفن وليختر في مقالاته ما يساعد طلاب العلم على فهم كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم قارناً المسائل التي يعالجها بأدلتها.

وليكتب المتخصص في التاريخ في سيرة النبي صلى الله عليه وسلم وسير أصحابه وفي تراجم أعلام هذه الأمة الذين لهم آثر بارزة في نصرة الإسلام.

وليكتب المتخصص في القراءات والتجويد مقالات في هذا الفن .

وليكتب المتخصص في اللغة مقالات في هذا الفن بشرط أن يجتنب ما لا يعترف به المنهج السلفي كالمجاز بأنواعه.

وأن لا يتصدى لنقد أهل البدع وتفنيد باطلهم إلا أهل العلم.

وأرجوا من المسئولين على هذه المواقع كسحاب وأخواتها ألا يقبلوا من المقالات إلا التي وقع عليها أصحابها بأسمائهم الصريحة وألا يقبلوا أصحاب الأسماء المستعارة.

كما أرجو من السلفيين عموماً أن يجتنبوا الخصومات وأسباب الخلافات وإن حصل شيء من ذلك بين بعض الإخوة ألا يكثروا الجدال وأن لا ينقلوا منه شيئاً في مواقع الإنترنت السلفية أو غيرها، بل يحيلوا ذلك إلى أهل العلم ليقولوا فيها كلمة الحق التي تقضي إن شاء الله على الخلاف .

وأنصح الإخوة بالحرص على إشاعة العلم النافع فيما بينهم وإشاعة أسباب المحبة والأخوة فيما بينهم .

وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه وألف بين القلوب إن ربي لسميع الدعاء.

وكتبه
ربيع بن هادي عمير المدخلي
في 25/ ذي القعدة 1424من الهجرة النبوية
مكة المكرمة
———————————————————————————-

(Dikutip dari fatwa Asy-Syaikh Al Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
25 Dzulhijjah 1424 H. Makkah Al-Mukarramah. Diterjemahkan oleh al Ustadz Usamah Mahri. URL Sumber : http://www.sahab.net/sahab/showthread.php?s=f1c1ef6de9b68f00597fcc9bf1e7faab&threadid=300720%20.)

Perhiasan Tak Ternilai Bagi Muslimah

Seorang yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang hamba semua telah diatur dalam syariat Islam.

Seorang yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’ dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan hidupnya. Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.

Sebagai hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersendiri dalam Mencipta, Mengatur, Memiliki, dan Memberi Rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah berfirman :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56)

Seseorang tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menuntut ilmu Dien (Agama Islam).

Di samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, karena beliau merupakan perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)

Ayat ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits shahih dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.

Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal agama Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh, tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti, dan kejelasan dari agamanya.
Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan berdakwah.

Seorang Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki jenjang pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan tuntunan syariat.

Sebagai isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah, sehingga ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :

“… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.” (An Nisa’ : 34)

Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah adalah yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati-Nya, mentaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan menunaikan hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya tidak ada.

Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.

Sebagai seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan suami, isteri adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :

“Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Hasil didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara yang akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah Muslimah harus menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena keshalihan mereka.

Di tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia wajib taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : 8)

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.

Seluruh kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika tidak, akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran, bila para Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan.

Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami atau orang tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu.
Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang selamat. Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau mencontoh para Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka sangat memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata :

‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu, maka jadikanlah bagi kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut agar engkau mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’ Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat mengajar para shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid, baligh, dan merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu ‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh kami mengeluarkan wanita yang merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat, dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “
Oleh karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.

Imam Az Zuhri rahimahullah berkata : ”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”

Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”

Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”

Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.

Demikianlah –wahai saudariku Muslimah– mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan telah terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)

Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Maraji’ :

1. Al Qur’anul Karim
2. Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
3. Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
4. Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
5. Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
6. Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
7. Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad bin Abdul Wahhab